Keseimbangan Sektor Riil dan Finansial: Studi Kasus Fenomena Bitcoin
Mengenal Digital, Virtual, dan Crypto Currency
Digital currency dapat
didefinisikan sebagai mata uang yang digunakan secara elektronik, baik untuk
disimpan, maupun untuk transaksi jual-beli. Sementara itu, virtual
currency adalah jenis mata uang digital yang terdesentralisasi (tidak
diatur), yang dikeluarkan dan dikendalikan oleh pengembangnya sendiri dan
digunakan serta diterima di antara virtual community tertentu
Crypto currency adalah
sebuah bentuk uang digital yang dirancang untuk menjadi media pertukaran yang
menggunakan kriptografi untuk mengamankan transaksi keuangan, mengontrol
penciptaan unit tambahan, dan memverifikasi transfer asset
Bitcoin adalah jaringan
konsensus yang memungkinkan sistem pembayaran baru dan uang yang sepenuhnya
berbentuk digital. Bitcoin merupakan jaringan pembayaran peer-to-peer
desentralisasi pertama yang dikontrol sepenuhnya oleh penggunanya tanpa ada
otoritas sentral ataupun perantara. Dari sudut pandang pengguna, Bitcoin serupa
seperti uang tunai di dunia internet. Bitcoin juga dapat dipandang
sebagai sistem pembukuan tiga pencatatan paling
menonjol yang ada saat ini
Bitcoin diluncurkan
pertama kali pada tahun 2009 oleh penciptanya, Satoshi Nakamoto. Saat di masa
“bayi”-nya, Bitcoin tak punya nilai yang berarti di pasar. Namun, di awal 2011,
satu keping koin ini dihargai lebih dari nilai 1 dollar. Jelas momen ini
merupakan catatan sejarah baru bagi Bitcoin. Seiring berjalannya waktu, Bitcoin
mengalami volatilitas yang cukup tinggi. Minat dari beberapa komunitas seluruh
dunia tiba-tiba beralih pada Bitcoin untuk menjadi para miners. Di tahun
2017, sewaktu-waktu 1 Bitcoin dihargai hingga 1.000 USD. Bahkan di akhir tahun
2017, nilainya mencapai 18.000 USD. Namun, hal ini menjadi pertanyaan besar
ketika tak berselang berapa lama di awal 2018, nilai 1 Bitcoin runtuh menjadi
6.000 USD. Apakah akan terjadi Bitcoin bubble burst?
Bitcoin as a Blockchain Technology
Blockchain adalah salah satu jenis teknologi dimana menyediakan transaksi yang ceoat dan aman antar dua pihak yang bertransaksi tanpa perlunya kehadiran pihak ketiga (bank). Blockchain inilah yang menjadi salah satu dasar dari berjalannya sistem Bitcoin. Teknologi ini memungkinkan aktivitas transaksi bersinergi satu sama lain dengan disesuaikan perhitungan algoritma. Karena keamanan dari penciptaannya, sampai saat ini sistem blockchain terbukti kuat dan sulit diretas. Oleh karena itu, beberapa orang menyebut bahwa Bitcoin adalah wujud teknologi mata uang yang gemilang. Jumlah Bitcoin yang beredar di dunia ini terbatas, hanya sebanyak 21 juta koin. Oleh karena itu tidak ada pihak yang dapat menambahkan atau mengurangi jumlah dari Bitcoin. Para miners (penambang, sebutan pemain Bitcoin) hanya dapat menciptakan nilai dari Bitcoin itu sendiri dengan berdasarkan permintaan dan penawaran. Di berbagai negara, Bitcoin telah menjadi mata uang untuk media bertransaksi jual-beli pada umumnya. Saat ini, China adalah negara dengan transaksi mining Bitcoin terbesar di dunia.
Bitcoin as a Time Bubble Burst
Ekonom global Nouriel
Roubini memperkirakan harga Bitcoin akan jatuh ke angka nol atau tidak memiliki
nilai lagi. “Crypto
currency
adalah ibu atau ayah dari semua penipuan dan gelembung,” ucap Roubini dalam
siding kongres di Capitol Hill tahun 2018 lalu. Para ekonom juga menggunakan
istilah HODL, yang merupakan singkatan dari “hold on for dear life”, yang berarti
“berjuang untuk bertahan hidup”. Istilah itu pertama kali muncul di forum
daring ketika seseorang salah mengeja kata “hold”. Sekarang, istilah tersebut
menjadi sebutan yang sering digunakan untuk menggambarkan volatilitas ekstrem
di pasar crypto currency ketika orang lebih
memilih mempertahankannya daripada menjualnya. Roubini mengatakan bahwa
“penggila HODL” akan menahan bitcoin sampai nilainya jatuh ke angka nol. Ia
juga mengatakan bahwa para trader akan mempraktikan wash trading untuk menopang harga. Wash trading adalah kondisi dimana
seseorang membeli dan menjual sahamnya untuk memanipulasi harga pasar. Beberapa
orang khawatir praktik ini akan terjadi di bursa bitcoin, dan memang nyatanya
terjadi.
Lantas, apa yang
membuat para ekonom berpikir demikian? Keberadaan Bitcoin dalam pasar uang
digital menimbulkan berbagai pro dan kontra. Permasalahan yang dapat kita
lihat, diantaranya adalah :
1.
Bitcoin bukanlah mata uang yang disahkan suatu negara.
Sistem Bitcoin terdesentralisasi dan tidak ada otoritas bank sentral yang
mengatur laju perkembangannya. Penciptaan harga dari Bitcoin itu sendiri
tercipta dari jumlah permintaan dan penawaran atas koin tersebut. Tidak ada
kejelasan yang pasti akan standardisasi nilai dari Bitcoin. Selain itu,
transaksi jual beli yang dilakukan dengan Bitcoin hanya dilakukan oleh beberapa
kalangan atau komunitas tertentu. Tidak semua orang dapat melakukan transaksi
menggunakannya.
2.
Karena bukan sebagai mata uang, Bitcoin dijadikan sebagai komoditas
atau asset untuk berinvestasi. Namun, pada praktik investasinya, transaksi ini
tidak memiliki underlying
asset selain
kepingan virtual itu sendiri. Transaksi ini jelas hanya mengandalkan praktik
spekulasi demi meraih keuntungan atas perbedaan harga beli dan jualnya. Pada
kenyataannya, banyak para miners
yang
melakukan mal-praktik seperti hype
and dump, wash sale, dan lain sebagainya agar terus menciptakan harga untuk para
pemainnya. Praktik inilah yang memang dilakukan demi menjaga keberlangsungan
Bitcoin agar nilainya tetap fluktuatif. Akibatnya, karena investasi tidak
mempunyai underlying asset yang riil dan jelas,
sistem ini akan terus tumbuh dengan dasar spekulatif yang berakibat pada
gelembung ekonomi yang sewaktu-waktu akan pecah dan berisiko fatal.
Equilibrium Bitcoin dan Sektor Riil
Keberadaan Bitcoin
memang tidak dirancang untuk mainstream, artinya sistem ini
hanya dapat diakses oleh beberapa orang dan mereka yang memang paham akan cara
kerjanya. Bagi sebagian besar orang yang tidak mengerti, bukan tidak mungkin
mereka akan merugi jika ikut bertransaksi dengan sistem ini. Dampak langsung
yang dapat terjadi adalah ketidaksetaraan (inequality). Karena ketidakmampuan
sebagian orang untuk menjangkau sistemnya membuat mereka tertinggal. Sedangkan
para miners yang istilahnya dapat
membeli mobil baru dengan hanya sekeping Bitcoin, akan semakin menambang untuk
utilitasnya sendiri.
Selanjutnya, sitem
Bitcoin hanya menjadi insentif finansial belaka untuk mendapatkan keuntungan
sebanyak-banyaknya. Tentunya karena peluang mendapat keuntungan sangat besar,
maka risiko yang haruslah ditanggung juga besar. Karena praktik spekulasi yang
terus menerus terjadi, pergerakan harga menjadi sangat tidak terkendali dan
menjadi tidak jelas.
Pada dasarnya, negara
dalam menjalankan kebijakan makroekonomi ingin menyeimbangkan antara arus
barang dan jasa (sektor riil) dengan arus uang (sektor finansial). Jika tigkat
arus barang dan jasa lebih besar dibanding arus uang, maka akan terjadi over-supply. Sebaliknya, jika
tingkat arus uang lebih tinggi dibanding arus barang dan jasa, maka ekonomi
akan menghadapi kondisi inflasi karena nilai uang terus tertekan dan mengalami
penurunan akibat laju arus uang yang masif. Tentu dua kondisi ini tidak
diinginkan untuk terjadi pada negara manapun. Oleh karena itu perlu adanya
otoritas baik untuk mengatur arus barang dan jasa seperti kementerian
perdagangan, maupun untuk mengatur arus uang, dalam hal ini bank sentral.
Dalam kasus Bitcoin,
baik merupakan mata uang atau komoditas, Bitcoin tidak punya alat pengatur
sentral. Pertumbuhan jaringan sistem yang melaju dengan cepat akibat jumlah
transaksi yang masif akan melibas perkembangan sektor riil. Karena insentif
investasi yang ditawarkan, masyarakat akan lebih tertarik untuk berinvestasi
pada Bitcoin dibandingkan berinvestasi pada sektor riil. Hal ini sangat
mengkhawatirkan karena seperti yang sudah dibahas, bahwa sistem ini dapat
berujung pada collapse-nya suatu perekonomian.
Untuk itu, pada tahun 2014 lalu Bank Indonesia menerbitkan maklumat maha
penting terkait dengan transaksi Bitcoin
Langkah tegas ini diambil pemerintah agar menjaga stabilitas
perekonomian Indonesia. Seperti yang kita ketahui, dunia cryptocurrency
adalah ranah yang tidak dapat diprediksi, baik harga koin itu meroket tajam
atau anjlok secara drastis tidak dilandaskan atas apa yang riil. Fenomena
Bitcoin masih menjadi isu dari keseimbangan makroekonomi negara. Perlu ada
pembatasan dalam mengatur aktivitas transaksi dalam sistem ini agar
keseimbangan sektor riil dan finansial dapat terus terjaga.
Daftar
Pustaka
Bank Indonesia. (2009). Undang-Undang No. 6 Tahun
2009. Indonesia.
Bitcoin. (n.d.). Frequently Ask
Questions. Retrieved from Bitcoin: https://bitcoin.org/id/faq#umum
D'Agnolo, M. (2015). All You
Need to Know About Bitcoin. timesofindia-economictimes.
Departemen Komunikasi, Bank
Indonesia. (2014). Pernyataan Bank Indonesia Terkait Bitcoin dan Virtual
Currency Lainnya. Jakarta: bicara@bi.go.id.
European Central Bank. (2012). Virtual
Currency Scheme. FrankFurt am Main : European Central Bank.
Greenberg, A. (2011). Crypto
Currency. Forbes.
Natalia, E. C. (2018, February 07).
Roubini: Harga Bitcoin Akan Jatuh Jadi Nol. Retrieved from CNBC
Indonesia:
https://www.cnbcindonesia.com/tech/20180207114508-37-3738/roubini-harga-bitcoin-akan-jatuh-jadi-nol
Comments
Post a Comment