Keseimbangan Sektor Riil dan Finansial: Studi Kasus Fenomena Bitcoin

 Mengenal Digital, Virtual, dan Crypto Currency

Digital currency dapat didefinisikan sebagai mata uang yang digunakan secara elektronik, baik untuk disimpan, maupun untuk transaksi jual-beli. Sementara itu, virtual currency adalah jenis mata uang digital yang terdesentralisasi (tidak diatur), yang dikeluarkan dan dikendalikan oleh pengembangnya sendiri dan digunakan serta diterima di antara virtual community tertentu (European Central Bank, 2012). Pada awalnya, virtual currency dibuat untuk online entertainment. Perbedaan antara digital currency dan virtual currency adalah dilihat dari nilai kedua mata uang ini. Virtual currency tidak memiliki nilai apapun karena mereka tidak diciptakan untuk digunakan di kehidupan nyata, namun digital currency memiliki nilai layaknya uang di kehidupan nyata.

Crypto currency adalah sebuah bentuk uang digital yang dirancang untuk menjadi media pertukaran yang menggunakan kriptografi untuk mengamankan transaksi keuangan, mengontrol penciptaan unit tambahan, dan memverifikasi transfer asset (Greenberg, 2011). Kriptografi adalah sebuah proses perubahan informasi yang hampir tidak dapat dipecahkan, untuk melacakberbagai transaksi pembelian dan transfer. Crypto currency kebanyakan berupa anonymous. Berbeda dengan digital currency, mata uang ini menggunakan kontrol terdesentralisasi (tidak terpusat). Kontrol ini bekerja melalui teknologi yang disebut blockchain yang berfungsi sebagai basis data transaksi keuangan publik (D'Agnolo, 2015). Salah satu bentuk dari crypto currency yang biasa kita kenal adalah Bitcoin.

Bitcoin adalah jaringan konsensus yang memungkinkan sistem pembayaran baru dan uang yang sepenuhnya berbentuk digital. Bitcoin merupakan jaringan pembayaran peer-to-peer desentralisasi pertama yang dikontrol sepenuhnya oleh penggunanya tanpa ada otoritas sentral ataupun perantara. Dari sudut pandang pengguna, Bitcoin serupa seperti uang tunai di dunia internet. Bitcoin juga dapat dipandang sebagai sistem pembukuan tiga pencatatan paling menonjol yang ada saat ini (Bitcoin, n.d.).

Bitcoin diluncurkan pertama kali pada tahun 2009 oleh penciptanya, Satoshi Nakamoto. Saat di masa “bayi”-nya, Bitcoin tak punya nilai yang berarti di pasar. Namun, di awal 2011, satu keping koin ini dihargai lebih dari nilai 1 dollar. Jelas momen ini merupakan catatan sejarah baru bagi Bitcoin. Seiring berjalannya waktu, Bitcoin mengalami volatilitas yang cukup tinggi. Minat dari beberapa komunitas seluruh dunia tiba-tiba beralih pada Bitcoin untuk menjadi para miners. Di tahun 2017, sewaktu-waktu 1 Bitcoin dihargai hingga 1.000 USD. Bahkan di akhir tahun 2017, nilainya mencapai 18.000 USD. Namun, hal ini menjadi pertanyaan besar ketika tak berselang berapa lama di awal 2018, nilai 1 Bitcoin runtuh menjadi 6.000 USD. Apakah akan terjadi Bitcoin bubble burst?

Bitcoin as a Blockchain Technology

Blockchain adalah salah satu jenis teknologi dimana menyediakan transaksi yang ceoat dan aman antar dua pihak yang bertransaksi tanpa perlunya kehadiran pihak ketiga (bank). Blockchain inilah yang menjadi salah satu dasar dari berjalannya sistem Bitcoin. Teknologi ini memungkinkan aktivitas transaksi bersinergi satu sama lain dengan disesuaikan perhitungan algoritma. Karena keamanan dari penciptaannya, sampai saat ini sistem blockchain terbukti kuat dan sulit diretas. Oleh karena itu, beberapa orang menyebut bahwa Bitcoin adalah wujud teknologi mata uang yang gemilang. Jumlah Bitcoin yang beredar di dunia ini terbatas, hanya sebanyak 21 juta koin. Oleh karena itu tidak ada pihak yang dapat menambahkan atau mengurangi jumlah dari Bitcoin. Para miners (penambang, sebutan pemain Bitcoin) hanya dapat menciptakan nilai dari Bitcoin itu sendiri dengan berdasarkan permintaan dan penawaran. Di berbagai negara, Bitcoin telah menjadi mata uang untuk media bertransaksi jual-beli pada umumnya. Saat ini, China adalah negara dengan transaksi mining Bitcoin terbesar di dunia.

Sumber : https://www.buybitcoinworldwide.com/mining/china/ 

Bitcoin as a Time Bubble Burst

Ekonom global Nouriel Roubini memperkirakan harga Bitcoin akan jatuh ke angka nol atau tidak memiliki nilai lagi. “Crypto currency adalah ibu atau ayah dari semua penipuan dan gelembung,” ucap Roubini dalam siding kongres di Capitol Hill tahun 2018 lalu. Para ekonom juga menggunakan istilah HODL, yang merupakan singkatan dari “hold on for dear life”, yang berarti “berjuang untuk bertahan hidup”. Istilah itu pertama kali muncul di forum daring ketika seseorang salah mengeja kata “hold”. Sekarang, istilah tersebut menjadi sebutan yang sering digunakan untuk menggambarkan volatilitas ekstrem di pasar crypto currency ketika orang lebih memilih mempertahankannya daripada menjualnya. Roubini mengatakan bahwa “penggila HODL” akan menahan bitcoin sampai nilainya jatuh ke angka nol. Ia juga mengatakan bahwa para trader akan mempraktikan wash trading untuk menopang harga. Wash trading adalah kondisi dimana seseorang membeli dan menjual sahamnya untuk memanipulasi harga pasar. Beberapa orang khawatir praktik ini akan terjadi di bursa bitcoin, dan memang nyatanya terjadi. (Natalia, 2018)

Lantas, apa yang membuat para ekonom berpikir demikian? Keberadaan Bitcoin dalam pasar uang digital menimbulkan berbagai pro dan kontra. Permasalahan yang dapat kita lihat, diantaranya adalah :

1.     Bitcoin bukanlah mata uang yang disahkan suatu negara. Sistem Bitcoin terdesentralisasi dan tidak ada otoritas bank sentral yang mengatur laju perkembangannya. Penciptaan harga dari Bitcoin itu sendiri tercipta dari jumlah permintaan dan penawaran atas koin tersebut. Tidak ada kejelasan yang pasti akan standardisasi nilai dari Bitcoin. Selain itu, transaksi jual beli yang dilakukan dengan Bitcoin hanya dilakukan oleh beberapa kalangan atau komunitas tertentu. Tidak semua orang dapat melakukan transaksi menggunakannya.

2.     Karena bukan sebagai mata uang, Bitcoin dijadikan sebagai komoditas atau asset untuk berinvestasi. Namun, pada praktik investasinya, transaksi ini tidak memiliki underlying asset selain kepingan virtual itu sendiri. Transaksi ini jelas hanya mengandalkan praktik spekulasi demi meraih keuntungan atas perbedaan harga beli dan jualnya. Pada kenyataannya, banyak para miners yang melakukan mal-praktik seperti hype and dump, wash sale, dan lain sebagainya agar terus menciptakan harga untuk para pemainnya. Praktik inilah yang memang dilakukan demi menjaga keberlangsungan Bitcoin agar nilainya tetap fluktuatif. Akibatnya, karena investasi tidak mempunyai underlying asset yang riil dan jelas, sistem ini akan terus tumbuh dengan dasar spekulatif yang berakibat pada gelembung ekonomi yang sewaktu-waktu akan pecah dan berisiko fatal.

Equilibrium Bitcoin dan Sektor Riil

Keberadaan Bitcoin memang tidak dirancang untuk mainstream, artinya sistem ini hanya dapat diakses oleh beberapa orang dan mereka yang memang paham akan cara kerjanya. Bagi sebagian besar orang yang tidak mengerti, bukan tidak mungkin mereka akan merugi jika ikut bertransaksi dengan sistem ini. Dampak langsung yang dapat terjadi adalah ketidaksetaraan (inequality). Karena ketidakmampuan sebagian orang untuk menjangkau sistemnya membuat mereka tertinggal. Sedangkan para miners yang istilahnya dapat membeli mobil baru dengan hanya sekeping Bitcoin, akan semakin menambang untuk utilitasnya sendiri.

Selanjutnya, sitem Bitcoin hanya menjadi insentif finansial belaka untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Tentunya karena peluang mendapat keuntungan sangat besar, maka risiko yang haruslah ditanggung juga besar. Karena praktik spekulasi yang terus menerus terjadi, pergerakan harga menjadi sangat tidak terkendali dan menjadi tidak jelas.

Pada dasarnya, negara dalam menjalankan kebijakan makroekonomi ingin menyeimbangkan antara arus barang dan jasa (sektor riil) dengan arus uang (sektor finansial). Jika tigkat arus barang dan jasa lebih besar dibanding arus uang, maka akan terjadi over-supply. Sebaliknya, jika tingkat arus uang lebih tinggi dibanding arus barang dan jasa, maka ekonomi akan menghadapi kondisi inflasi karena nilai uang terus tertekan dan mengalami penurunan akibat laju arus uang yang masif. Tentu dua kondisi ini tidak diinginkan untuk terjadi pada negara manapun. Oleh karena itu perlu adanya otoritas baik untuk mengatur arus barang dan jasa seperti kementerian perdagangan, maupun untuk mengatur arus uang, dalam hal ini bank sentral.

Dalam kasus Bitcoin, baik merupakan mata uang atau komoditas, Bitcoin tidak punya alat pengatur sentral. Pertumbuhan jaringan sistem yang melaju dengan cepat akibat jumlah transaksi yang masif akan melibas perkembangan sektor riil. Karena insentif investasi yang ditawarkan, masyarakat akan lebih tertarik untuk berinvestasi pada Bitcoin dibandingkan berinvestasi pada sektor riil. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena seperti yang sudah dibahas, bahwa sistem ini dapat berujung pada collapse-nya suatu perekonomian. Untuk itu, pada tahun 2014 lalu Bank Indonesia menerbitkan maklumat maha penting terkait dengan transaksi Bitcoin (Departemen Komunikasi, Bank Indonesia, 2014). Dalam maklumat ini berdasarkan Undang-Undang No.6 Tahun 2009, Bank Indonesia menyatakan bahwa Bitcoin dan virtual currency lainnya bukan merupakan mata uang atau alat pembayaran yang sah di Indonesia. Masyarakat dihimbau untuk berhati-hati terhadap Bitcoin dan virtual currency lainnya. Segala risiko terkait kepemilikan/penggunaan Bitcoin ditanggung sendiri oleh pemilik/pengguna Bitcoin dan virtual currency lainnya (Bank Indonesia, 2009).

Langkah tegas ini diambil pemerintah agar menjaga stabilitas perekonomian Indonesia. Seperti yang kita ketahui, dunia cryptocurrency adalah ranah yang tidak dapat diprediksi, baik harga koin itu meroket tajam atau anjlok secara drastis tidak dilandaskan atas apa yang riil. Fenomena Bitcoin masih menjadi isu dari keseimbangan makroekonomi negara. Perlu ada pembatasan dalam mengatur aktivitas transaksi dalam sistem ini agar keseimbangan sektor riil dan finansial dapat terus terjaga.

 

Daftar Pustaka

Bank Indonesia. (2009). Undang-Undang No. 6 Tahun 2009. Indonesia.

Bitcoin. (n.d.). Frequently Ask Questions. Retrieved from Bitcoin: https://bitcoin.org/id/faq#umum

D'Agnolo, M. (2015). All You Need to Know About Bitcoin. timesofindia-economictimes.

Departemen Komunikasi, Bank Indonesia. (2014). Pernyataan Bank Indonesia Terkait Bitcoin dan Virtual Currency Lainnya. Jakarta: bicara@bi.go.id.

European Central Bank. (2012). Virtual Currency Scheme. FrankFurt am Main : European Central Bank.

Greenberg, A. (2011). Crypto Currency. Forbes.

Natalia, E. C. (2018, February 07). Roubini: Harga Bitcoin Akan Jatuh Jadi Nol. Retrieved from CNBC Indonesia: https://www.cnbcindonesia.com/tech/20180207114508-37-3738/roubini-harga-bitcoin-akan-jatuh-jadi-nol

 

Comments

Popular posts from this blog

Stimulus Fiskal dan Non-Fiskal pada Sektor Transportasi di Indonesia : Studi Kasus Covid-19

Akad Wakalah dalam Perbankan Islam